Mencegah Perkawinan Usia Anak di Dalam Masyarakat

Februari 02, 2020
Intensitas menanyakan status perkawinan pada seorang bujang terkadang menimbulkan dilema tersendiri. Bisa jadi yang menanyakan hanya bermaksud basa-basi, namun yang ditanya jadi baper. Namun ada pula yang bertanya tentang status perkawinan ini benar-benar bertanya dan beranggapan bahwa pada usia tertentu, seseorang memang sudah harus menikah.


Kebiasaan yang terus terjadi tersebut membuat banyak orang panik jika dirinya atau anaknya belum menikah. Standarisasi hidup seakan-akan terletak pada status perkawinan. 

Nggak heran, ada yang kemudian buru-buru menikah demi menyelamatkan harga dirinya. Begitu juga dengan orang tua yang tak ingin anaknya dicap bujang atau perawan tua, mereka pun tak membuang waktu untuk segera menikahkan anaknya meskipun si anak masih terbilang di bawah umur. 

Pada tahun 2017 proporsi perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun tercatat sebesar 11,54%. Hal ini dikemukakan oleh Fatahillah Rais, M.Si - Asisten Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementrian PPPA yang menjadi keynote speaker pada Dialog Publik Pencegahan Perkawinan Usia Anak yang berlangsung pada tanggal 5 Desember 2019 di MG Setos Hotel Semarang.

Angka tersebut turun menjadi 11,2% pada tahun 2018, hanya sedikit bergeser dari tahun sebelumnya. Hal ini menjadi catatan penting ketika Indonesia masuk dalam ranking 7 di dunia dalam kasus perkawinan usia anak dan ranking 2 di ASEAN.

Perkawinan anak jelas merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak sesuai UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UU 35 tahun 2014 tentang perubahan UU 23). Pada Ratifikasi Konvensi Anak, terkait perlindungan anak ini adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak agar bisa tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


Pemicu Perkawinan Usia Dini

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia anak, di antaranya:

Ketidaksetaraan Gender

Ketika kita membincang soal gender, kita tidak mempersoalkan masalah laki-laki dan perempuan (jenis kelamin). Kodrat perempuan untuk melahirkan itu bukan terkait gender karena memang tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki. Pembahasan gender lebih kepada peran dan fungsi yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misal pengasuhan anak ataupun melakukan pekerjaan rumah, dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. 

Ketimpangan gender ini amat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih sangat dominan di dalam masyarakat. Begitu kuatnya pola ini sehingga sulit untuk membangun persepsi tentang peran dan fungsi yang bisa dibagi antara laki-laki dan perempuan. Angka partisipasi sekolah dan kerja bagi perempuan masih rendah. Contohnya, ketika keluarga mengalami keterbatasan dana pendidikan, pasti yang didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Toh nanti perempuan larinya  ke dapur. 

Harus dibangun rekonstruksi pemikiran seputar kesetaraan gender ini mulai dari keluarga. Anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk bertumbuh kembang dan mengambil peran sertanya dalam masyarakat.

Kemiskinan dalam Keluarga

Ketika suatu keluarga mengalami permasalahan keuangan yang menjerat keluarga, salah satu solusi yang biasa dilakukan adalah menikahkan anak perempuannya cepat-cepat. Tujuannya agar bisa mengurangi beban ekonomi keluarga.

Setelah menikah, diharapkan permasalahan keuangan keluarga bisa teratasi. Padahal tak jarang, anak yang menikah di bawah umur ini masih belum sanggup memikul beban rumah tangga di kemudian hari. Yang ada malah nantinya dia masih tetap merepotkan keluarga dengan pola pengasuhan anak yang telah dilahirkannya dalam usia muda.

Lingkaran kemiskinan ini akan terus berputar. Perkawinan usia anak yang dipicu oleh kemiskinan ini membuat keluarga tersebut beresiko mengalami rendahnya kualitas pendidikan. Seorang ayah atau ibu baru yang muncul dari perkawinan usia anak, bisa jadi mengulangi kembali pola pernikahan ini untuk keturunannya.

Budaya Dalam Masyarakat

Pada beberapa daerah maupun beberapa kebiasaan etnis tertentu, adanya perjodohan untuk anak masih berlaku. Antar orangtua saling menjodohkan anaknya tanpa merasa perlu untuk menanyakan hal tersebut kepada anaknya masing-masing.

Padahal ada anak yang masih ingin melanjutkan sekolah, terpaksa harus memupus cita-citanya karena harus masuk dalam ikatan pernikahan ketika usianya masih tergolong anak-anak. 

Selain itu anggapan bahwa telat menikah akan mendapat predikat perawan tua juga menjadi momok tersendiri. Stigma ini masih banyak berlaku di masyarakat lhooo..

Rendahnya Literasi

Semakin mudah akses internet dengan beragam informasi yang berseliweran, setiap orang bisa membaca dan menontonnya melalui gadget yang dimiliki. Tak terkecuali oleh anak yang masih berusia di bawah 19 tahun. 

Rasa penasaran yang disertai dengan kurangnya kontrol dari orang tua, membuat anak asal coba-coba dengan hal baru. Salah satunya termanifestasi dalam bentuk perilaku seksual yang mengakibatkan kehamilan di luar pernikahan. Akhirnya orangtua terpaksa menikahkan anaknya di usia belia.

Kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan literasi yang memadai, mengakibatkan banyak efek negatif yang timbul di masyarakat. Hal inilah yang perlu disadari oleh orangtua ketika memberikan ijin kepada anak untuk mengakses internet dalam berbagai wujud, mulai dari penggunaan media sosial hingga sumber pencarian informasi berupa tulisan dan video.



Permasalahan yang Timbul Akibat Perkawinan Usia Anak

Pada dialog publik ini hadir para narasumber yang memiliki kompetensi di bidang gender, pemberdayaan anak, maupun pakar kesehatan anak. 

Narasumber yang pertama adalah Dra. Retno Sudewi, APT. M.Si. Beliau menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.

Bu Retno menyampaikan tentang komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam merumuskan program kebijakan untuk mencegah dan menekan angka perkawinan usia anak. Miris juga ketika beliau menampilkan data kekerasan yang terjadi pada anak. Ternyata tinggi juga jumlah korban kekerasan pada anak yang terjadi di Jawa Tengah, terutama yang terjadi pada anak perempuan.

Adapun jenis kekerasan yang dialami terdiri dari berbagai jenis, mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, trafficking, eksploitasi, KDRT dan lainnya. 

Apa yang terjadi ketika terjadi perkawinan usia anak yang dilanjutkan dengan kehamilan?

  • Timbulnya resiko kehamilan pada ibu dan janin
  • Ibu muda kurang memperhatikan kehamilannya, tidak tertib melakukan kontrol kehamilan.
  • Meningkatnya kematian ibu dan bayi
  • Resiko menderita kanker di masa yang akan datang


Duuuh... kok ngeri banget ya efek dari perkawinan usia anak ini ya. Makin berat aja nih tantangan orangtua dalam membersamai perjalanan anak menuju kehidupan dewasanya.

Acapkali kehamilan yang terjadi pada anak perempuan ini memang tidak diinginkan. Bisa saja karena hamil di luar nikah ataupun tragedi perkosaan. Akibatnya, berbagai dampak buruk pun terpaksa ditanggung oleh si anak, berupa:

  1. Putus sekolah
  2. Kehilangan kesempatan meniti karir
  3. Menjadi orang tua tunggal dan pernikahan dini yang tidak terencana
  4. Kesulitan dalam beradaptasi secara psikologis
  5. Kesulitan beradaptasi menjadi orangtua
  6. Rawan stres dan mengalami konflik 
  7. Kesulitan beradaptasi dengan pasangan
  8. Berusaha mengakhiri kehamilannya dengan aborsi yang beresiko terhadap kematian atau rasa sakit yang luar biasa 


Oleh karena itu, literasi seputar hak anak harus diketahui oleh para orangtua. Terlebih lagi sudah ada konvensi hak anak, dimana Indonesia menjamin pemenuhan kebutuhan anak seperti yang terlihat pada ilustrasi di bawah ini:

Berkaitan dengan Konvensi Hak Anak tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk pendewasaan usia perkawinan anak. Kebijakan tersebut meliputi:

  1. Wajib belajar 12 tahun
  2. Sosialisasi pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi (kespro), melalui PP No. 61 tahun 2014 tentang Kespro
  3. Program KB dan Generasi Berencana
  4. PUG dalam pembangunan nasional dan konsep KKG
  5. Program Kabupaten/Kota Layak Anak
  6. Revisi UU no. 1 tahun 1974, masuk prolegnas 2015-2019
  7. Perbaikan RUU Kesetaraan Gender
  8. Sosialisasi UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
  9. Bekerja sama dengan organisasi perempuan, organisasi keagamaan dan ormas dalam hal sosialisasi Pendewasaan Usia Perkawinan
  10. Peraturan Menteri PPPA No. 6 tahun 2013 tentang Pembangunan Keluarga
  11. Sosialisasi tentang "Parenting Skill"
  12. Menyediakan program-program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan UKM Keluarga Miskin
  13. Pembuatan Perda untuk pencegahan perkawinan usia anak

Artikel Terkait

Previous
Next Post »